BeritaBerita LainnyaBerita Masyarakat AdatOpini

Jalan Terjal Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan Haknya di Kalimantan Tengah

Opini

Jalan Terjal Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan Haknya di Kalimantan Tengah

Oleh : Ferdi Kurnianto (Ketua PH Wilayah AMAN Kalimantan Tengah)

Secara de facto keberadaan dan eksistensi masyarakat adat telah diakui secara turun temurun. Pengakuan tersebut muncul baik dari lingkungan sekitar tempat mereka tinggal maupun dari dalam diri mereka sendiri. Pengakuan tersebut tidak muncul begitu saja, tetapi berdasar dari praktek-praktek kehidupan kolektif yang telah masyarakat adat jalani selama ini secara kesejarahan, penghormatan mereka terhadap leluhur dan sang Pencipta, pelestarian adat-tradisi-budaya, serta keseimbangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, air, dan alam yang mereka miliki. Semua praktek-praktek tersebut terbingkai dalam Wilayah Adat, yang mestinya tidak hanya dimaknai oleh negara dalam bentuk Hutan Adat saja tetapi lebih kepada Ruang Hidup maupun Wilayah Kehidupan masyarakat adat.

Terbentuknya negara dalam bingkai NKRI kemudian menambah variable baru dalam hal pengakuan keberadaan masyarakat adat. Pengakuan bagi masyarakat adat yang awalnya telah ada secara de facto dimaknai tidak cukup oleh negara. Semuanya kemudian dibuat secara legal-formal, masyarakat adat dituntut untuk membuktikan keberadaannya secara de jure yang keputusan ya atau tidak nya ada di pemerintah.

Dalam hal pengakuan formal, pengakuan negara terhadap masyarakat adat sebenarnya sudah ada dan termuat dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dimana “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Namun sampai dengan tahun 2023 ini Undang-Undang khusus terkait Masyarakat Adat seperti yang dimaksud oleh Konstitusi tersebut tidak kunjung ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Disisi lain, narasi yang menyebut tentang Masyarakat Adat hanya muncul sebagai cantolan dalam beberapa regulasi kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian/ lembaga sektoral.

Jika merujuk kepada konstitusi UUD 1945, pengakuan dan penghormatan masyarakat adat sebenarnya sudah ada, yang dibutuhkan saat ini hanyalah pengadministrasiannya oleh negara terhadap keberadaan masyarakat adat tersebut pada setiap tingkatan kepemerintahan. Hal ini kemudian diperumit dengan adanya regulasi kebijakan sektoral baik kehutanan, perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya yang mengharuskan adanya pengakuan lagi bagi masyarakat adat pada tingkat lokal dalam bentuk Peraturan Daerah. Disisi lain, pembentukan Peraturan Daerah merupakan hal yang tidak mudah terjadi, karena harus melalui jalur politis pada tatanan eksekutif dan legislatif.

Rumitnya sistem birokrasi negara ini juga berdampak pada pengakuan legal masyarakat adat. Masyarakat adat sebagai subjek hukum nya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah baik melalui Peraturan Daerah ataupun melalui Keputusan Kepala Daerah, namun haknya terutama yang berkaitan dengan hutan (Hutan Adat) menjadi kewenangan Pusat untuk menetapkan, dalam hal ini oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kondisi ini seakan-akan membuat masyarakat adat terpisah dari hak nya. Semua usulan pengakuan masyarakat adat belum tentu ditetapkan oleh pemerintah daerah, ketika ditetapkan subjeknya juga belum tentu hutan adatnya akan ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Judicial review atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menghasilkan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada didalam wilayah adat, dan bukan lagi sebagai Hutan Negara sebagaimana yang dimaksud oleh UU Kehutanan. Klausul wilayah adat menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, karena Hutan Adat berdiri atas dasar wilayah adat. Salah satu dokumen yang dibutuhkan untuk pengusulan pengakuan formal adalah Peta Wilayah Adat, yang selama ini lebih sering dibuat secara partisipatif dan kolektif oleh komunitas masyarakat adat berdasarkan sejarah asal-usulnya, serta telah melalui berbagai proses verifikasi antar kampung/komunitas. Namun yang sering terjadi tidak semuanya diakui oleh pemerintah dan tidak semuanya dapat ditetapkan sebagai Hutan Adat oleh pemerintah. Pemerintah sering membenturkannya dengan status administratif yang baru, seperti kawasan hutan dan bahkan wilayah konsesi. Wilayah adat sudah ada sejak lama, sebelum adanya penetapan kawasan hutan dan pemberian izin konsesi oleh negara. Peta Wilayah Adat yang baru dibuat oleh komunitas tersebut merupakan citra dari wilayah adat dan semua pengetahuan masyarakat adat yang sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala. Ketika Hutan Adat yang ditetapkan oleh Kementerian hanya sebagian dari luas wilayah adat yang diusulkan oleh komunitas adat dan diakui oleh pemerintah daerah melalui Keputusan Kepala Daerah atau Peraturan Daerah maka tidak akan cukup kuat untuk melindungi keseluruhan wilayah adat tersebut, karena kewenangan terkait perencanaan dan pemanfaatan ruang dan kawasan berada pada ranah yang berbeda dalam pemerintahan (Pusat dan Daerah).

Upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kalimantan Tengah

Upaya untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat beserta hak asal-usulnya di Kalimantan Tengah sudah dimulai sejak lebih dari satu dekade yang lalu. Sejak awal dekade 2010-an di beberapa komunitas adat anggota AMAN di Kalimantan Tengah telah memulai upaya tersebut dengan melakukan diskusi-diskusi dan musyawarah kampung membahas situasi kehidupan mereka, hal tersebut kemudian berlanjut pada inisiatif komunitas adat untuk melakukan pemetaan wilayah adatnya secara partisipatif. AMAN Kalimantan Tengah mencatat ada 28 komunitas adat anggota AMAN yang telah melakukan pemetaan wilayah adat di berbagai daerah kabupaten di Kalimantan Tengah. Meskipun sampai dengan tahun 2023 ini baru 18 komunitas adat anggota AMAN yang telah selesai melakukan pemetaan wilayah adat nya di Kalimantan Tengah dengan total luas keseluruhan wilayah adat yaitu 183.154,5 hektar. Jika ditambah dengan data dari pemerintah terkait wilayah adat lainnya yang bukan komunitas adat anggota AMAN, maka luas wilayah adat di Kalimantan Tengah yang sudah dipetakan yaitu 412.375 hektar yang terdiri dari 27 wilayah adat.

Pelatihan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat di Komunitas Adat Lewu Tehang. Dok. @AMAN Kalteng/2015
Pelatihan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat di Komunitas Adat Lewu Tehang. Dokumentasi @AMAN Kalteng/2015

Selama ini upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kalimantan Tengah juga dilakukan dengan mendorong terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota tentang Masyarakat Adat oleh berbagai koalisi yang terdiri dari Pemerintah, Akademisi, CSO dan Kelembagaan Adat yang ada di Kalimantan Tengah. Namun hingga tahun 2023 ini baru Kabupaten Gunung Mas yang telah menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui Perda Nomor 9 Tahun 2022. Sementara untuk Kabupaten/Kota lainnya di Kalimantan Tengah sampai dengan saat ini Raperda Masyarakat Adat tersebut masih berproses dan belum ditetapkan. Hal yang sama juga terkait dengan Raperda Provinsi Kalimantan Tengah tentang Masyarakat Adat yang tidak kunjung ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah hingga saat ini. Bahkan telah tersendat sangat lama sejak masih masa kepemimpinan Gubernur Agustin Teras Narang lalu.

Miskinnya produk hukum daerah di Kalimantan Tengah yang mengakomodir pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, khususnya dalam bentuk Peraturan Daerah menyebabkan terkendalanya berbagai upaya dan kegiatan masyarakat adat dalam mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Dalam hal pemetaan wilayah adat misalnya, selama ini hanya dapat dilakukan secara mandiri, partisipatif dan kolektif komunitas adat saja sehingga dapat terjadi. Tidak ada anggaran dari pemerintah yang dapat diakses oleh komunitas adat untuk dapat mendukung pemetaan wilayah adat tersebut pada setiap daerah. Sehingga terkesan bahwa peran pemerintah dalam hal ini hanya dalam hal finising akhir saja, namun yang berjuang berat dilapangan dalam mempersiapkan semua bahan dan kebutuhan adalah komunitas masyarakat adat itu sendiri. Namun ketika selesai, seolah-olah peran pemerintah lebih besar dari masyarakat adat itu sendiri terutama dalam hal eksistensi ke publik.

Pada tahun 2019 Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau melalui SK Bupati Pulang Pisau No. 105 Tahun 2019 Menetapkan Masyarakat Hukum Adat Pilang di Desa Pilang, yang kemudian dilanjutkan dengan ditetapkannya Hutan Adat Pulau Barasak seluas 102 hektar di desa Pilang sebagai Hutan Adat oleh KLHK. Pada tahun yang sama Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau juga menetapkan Masyarakat Adat Simpur dan Ramang di Pulang Pisau melalui SK Bupati Pulang Pisau. Meskipun peta wilayah dalam lampiran SK Bupati ini menggunakan peta administrasi desa. Hal yang sama pada tahun 2019 juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sukamara, melalui SK Bupati Sukamara No. 188.45/415/2019 tentang Pengakuan MHA Dayak Tomun Desa Kenawan, SK Bupati Sukamara No. 188.45/416/2019 tentang Pengakuan MHA Dayak Jelai Ruku Mapam Desa Nibung Terjun, SK Bupati Sukamara No. 188.45/417/2019 tentang Pengakuan MHA Dayak Gambu Dalam Desa Kartamulia, dan SK Bupati Sukamara No. 188.45/418/2019 tentang Pengakuan MHA Dayak Jelai Lari Desa Nibung Semantu. Dengan memanfaatkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, kedua Kabupaten ini lebih progresif sejak awal dalam mendorong pengakuan bagi masyarakat adat di daerahnya meskipun sampai dengan saat ini Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat di keduanya masih belum ditetapkan dan basis kewilayahannya masih menggunakan wilayah administrasi desa. Pada tahun 2021 hal yang sama dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas dengan menerbitkan SK Bupati Kapuas No. 490/DLH/2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA Timpah Suku Dayak Ngaju Desa Timpah.

Pasca ditetapkannya Perda Kabupaten Gunung Mas No. 9 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pemerintah setempat bersama dengan KLHK, Akademisi dan CSO mengupayakan implementasi dari Perda tersebut dengan mengidentifikasi, verifikasi dan validasi keberadaan masayarakat adat yang ada di Kabupaten Gunung Mas, diawali terhadap komunitas adat yang telah melakukan pemetaan patisipatif wilayah adat nya selama ini dan komunitas yang dinilai memiliki basis kesejarahan komunal lainnya. Pada tanggal 27 Juli 2023 Pemerintah Kabupaten Gunung menetapkan Pengakuan dan Perlindungan 14 (empat belas) MHA di wilayah Kabupaten Gunung Mas melalui SK Bupati Gunung Mas No. 100.3.3.2/344/2023. Sementara itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah juga mengeluarkan SK Gubernur Kalimantan Tengah No.188.44/436/2022 tentang Penetapan MHA Rungan yang berada pada lintas wilayah administrasi (Kota Palangka Raya – Kabupaten Gunung Mas).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah menetapkan 15 Hutan Adat di Kabupaten Gunung Mas dengan total luasan ± 68.326 hektar yang terdiri dari 15 Wilayah Adat pada 17 Desa. Hal ini menjadikan Kabupaten Gunung Mas sampai dengan hari ini tercatat sebagai Kabupaten yang memiliki Hutan Adat terluas se-Indonesia, mesikipun luasan Hutan Adat tersebut tidak sama dengan luas wilayah adat yang diusulkan oleh komunitas masyarakat adat.

Formalisasi Hutan Adat melalui penetapan oleh Kementerian turut menjadi perdebatan hingga saat ini, tidak jarang pula menjadi keluhan oleh masyarakat adat pada tingkat tapak. Bahwa tidak semua daerah Kabupaten di Kalimantan Tengah memiliki situasi birokrasi dan politik yang sama seperti di Kabupaten Gunung Mas dan Pulang Pisau. Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau misalnya, sejak tahun 2016 lalu komunitas telah melakukan pemetaan partisipatif wilayah adatnya, telah mendokumentasikan segala kebutuhan untuk usulan pengakuan masyarakat adat dan hutan adatnya, namun hingga saat ini tidak kunjung mendapat pengakuan dari Pemerintah, baik Pemerintah Kabupaten, Provinsi maupun Pusat. Raperda Masyarakat Adat Kabupaten Lamandau yang tidak kunjung ditetapkan, situasi wilayah adat yang mayoritas telah dibebani dengan izin konsesi bagi perusahaan dan kawasan hutan negara menempatkan nasib komunitas adat Laman Kinipan pada posisi yang rentan berhadapan pada konflik tenurial dan tidak jarang mendapatkan kriminalisasi. Konflik yang terjadi antara komunitas adat Laman Kinipan dengan perusahaan yang beroperasi diatas wilayah adatnya kian memperlambat penanganan pengakuannya dari Negara. Pemerintah Pusat dan Daerah saling lempar bola api hingga saat ini, Pemerintah Daerah menegaskan bahwa kewenangan penetapan Hutan Adat ada pada ranah Kementerian, namun Kementerian pun beralasan bahwa untuk dapat menetapkan Hutan Adat harus ada Peraturan Daerah yang dibentuk terlebih dahulu oleh pihak Pemerintah Daerah. Terus siapa yang kian dirugikan dan menjadi korban atas situasi tersebut? Dari total luas 16.169,94 hektar wilayah adat dan 10.788,58 hektar usulan Hutan Adat oleh masyarakat adat Laman Kinipan, baru seluas 6.825 hektar yang ditetapkan oleh KLHK sebagai area Pencadangan Hutan Adat. Dalam berbagai regulasi peraturan di Indonesia tidak ada kekuatan hukum tetap terhadap status area Pencadangan Hutan Adat, yang ada hanyalah status Hutan Adat. Situasi Laman Kinipan hanyalah salah satu gambaran dari situasi masyarakat adat lainnya yang ada di Kalimantan Tengah sampai dengan saat ini, dimana situasi yang sama juga terjadi pada banyak komunitas masyarakat adat lainnya di Kalimantan Tengah, hanya saja tidak begitu terdengar sampai ke ranah publik.

Formalisasi Hutan Adat melalui penetapan dari Pemerintah juga menciptakan ruang ambigu pemaknaan Hutan Adat itu sendiri. Masyarakat adat selama ini menganggap semua hutan yang ada didalam wilayah adatnya merupakan Hutan Adat, baik untuk fungsi spiritual, pengelolaan, pemanfaatan dan lindung. Semua merupakan Hutan Adat, terlepas apakah ada pengakuan atau tidak dari negara. Namun cara pandang dan otoritas negara kemudian melemahkannya dengan kewajiban formal harus ada penetapan dari negara, sehingga tidak mengherankan jika wilayah-wilayah ruang hidup masyarakat secara sepihak ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Negara dan atau diserahkan kepada pihak luar sebagai izin konsesi. Cara pandang yang berbeda dalam melihat dan memaknai ruang juga tidak jarang membuat ambigu, pemerintah punya cara pandang, perencanaan dan peruntukan tersendiri terhadap ruang-ruang di wilayah adat mengatasnamakan kawasan hutan negara dan pembangunan, sementara situasi di masyarakat tidak lah sama demikian. Lalu otoritas dan cara pandang siapa yang kemudian dipaksakan dan mendominasi selama ini?

Lalu bagaimana?!

Pengakuan formal terhadap keberadaan masyarakat adat merupakan hal yang penting, terlebih dalam situasi saat ini dimana konflik tenurial sering terjadi, konsesi sudah begitu banyak diberikan pada ruang-ruang hidup masyarakat adat di Kalimantan Tengah. Namun sebagai masyarakat adat, pengakuan formal tidaklah cukup menjamin bahwa situasi dan kondisi masyarakat adat akan terus terlindungi dan menjadi lebih baik. Letakkan pengakuan formal tersebut sebagai salah satu alat pendukung perjuangan masyarakat adat, bukan sebagai tujuan akhir dari perjuangan tersebut. Yang perlu diperkuat saat ini baik oleh komunitas masyarakat adat yang sudah mendapatkan penetapan pengakuan dari negara atau belum adalah persatuan dan kolektifitas internal, kesadaran bahwa kita hidup sebagai mahkluk sosial, cara pandang yang melihat hutan dan alam bukan sebatas nilai ekonomis semata, tetapi merupakan bagian dari identitas masyarakat adat yang memiliki nilai spiritual dan luhur.

Ritual Adat Punduk Sahur setelah selesai Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat Lewu Tumbang Bahanei. Dokumentasi @AMAN Kalteng/2014

Sejak masa kolonial dahulu situasi masyarakat adat telah terpecah, hal itu kemudian juga dilanjutkan dengan penyeragaman sistem pemerintahan adat menjadi desa oleh negara melalui UU No. 5 Tahun 1979 yang kian memisahkan jalinan kekerabatan dan kekeluargaan didalam dan bahkan antar kampung yang tadinya memiliki sejarah asal-usul yang sama menjadi lebih adminitratif. Hal yang administratif tersebut juga mempengaruhi kepekaan dan cara pandang terhadap hutan, air, lingkungan dan lain sebagainya. Kerusakan hutan dan sumber-sumber air di hulu pada wilayah administrasi desa tertentu saat ini seakan-akan merupakan masalah dan tanggung jawab warga desa tersebut saja, tapi bukankan logika alam tidak seadministratif itu. Rusak nya hutan dan air di hulu juga berdampak dirasakan oleh desa-desa dan kampung di bagian hilir. Begitu pula sebaliknya, kerusakan yang terjadi di hilir bukankah akan mengancam situasi dibagian hulu. Kondisi demikian akan terus berlangsung jika kesadaran kolektif masyarakat adat semakin melemah, semakin terpecah oleh hal administratif. Masuknya konsesi perusahaan sejak dekade tahun 1970-an kedalam wilayah adat juga turut merubah cara pandang terhadap alam menjadi lebih ekonomis dan semakin memecah kehidupan sosial masyarakat adat di kampung-kampung hingga saat ini, secara tidak sadar menjadikan kita lebih individualis.

Semua infrastuktur perjuangan masyarakat adat telah ada dan tersedia di kampung sejak masa lalu, baik spiritual, tradisi dan budaya, alam dan kondisi geografis kampung, kolektifitas komunal dan apapun itu yang ada dikampung dan telah menjadi panggung yang masyarakat adat kuasai selama ini, kita hanya perlu memberikan ruang, kesempatan dan kepercayaan diri yang sama terhadapnya, layaknya infrastruktur perjuangan yang berasal dari luar.

 

Refleksi atas perjalanan selama ini.

Palangka Raya, 09 Agustus 2023.

Selamat Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Tahun 2023.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *