Cerita dari Kampung

Menunggu Durian: Tradisi Masyarakat Dayak Desa Petak Bahandang yang Penuh Kehangatan

Bagi masyarakat Desa Petak Bahandang, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, musim durian yang berlangsung pada bulan Desember bukan sekadar waktu panen, tetapi juga momen kebersamaan yang penuh makna. Saat durian mulai matang di kebun, kebiasaan unik menunggu durian jatuh menjadi kegiatan yang ditunggu-tunggu. Tradisi ini memperlihatkan kedekatan masyarakat dengan alam dan sesamanya.

Menjelang musim durian, warga biasanya mempersiapkan pondok kecil di sekitar pohon durian yang sedang berbuah. Pondok ini digunakan sebagai tempat keluarga atau individu berdiam menunggu durian jatuh. Pondok ini sederhana, terbuat dari kayu dan beratapkan daun rumbia, namun cukup nyaman untuk menginap.

Bekal juga dipersiapkan, mulai dari makanan, tikar, hingga lampu minyak atau obor untuk penerangan. Menunggu durian sering dilakukan secara bergantian, terutama jika pohon durian berada di hutan yang jauh dari permukiman.

Kegiatan menunggu durian biasanya dilakukan pada malam hari karena durian paling sering jatuh saat udara dingin. Suara “dung” khas durian jatuh menjadi tanda yang memicu antusiasme. Warga akan segera mencari buah yang jatuh di bawah pohon dengan bantuan obor atau lampu senter.

Namun, menunggu durian bukan hanya soal mengumpulkan buah. Selama waktu ini, banyak interaksi sosial yang terjadi. Warga sering berkumpul di pondok untuk berbagi cerita dan bercanda.

Tradisi ini juga menunjukkan kearifan lokal masyarakat Dayak Desa Petak Bahandang dalam menghormati alam. Mereka memahami pentingnya menjaga pohon durian dan hutan sekitar agar tetap produktif. Tidak ada yang memanjat pohon atau memetik durian sebelum waktunya; mereka sabar menunggu hingga buah jatuh secara alami.

Selain itu, durian yang jatuh biasanya tidak langsung dimakan sendiri. Sebagian besar hasil panen akan dibagikan kepada kerabat atau dijual. Hal ini mencerminkan sifat gotong royong dan solidaritas masyarakat Desa Petak Bahandang.

 

Arianto/Jurnalis Masyarakat Adat dari Katingan, Kalimantan Tengah

 

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *