RESOLUSI MUSYAWARAH WILAYAH III ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) KALIMANTAN TENGAH
RESOLUSI
MUSYAWARAH WILAYAH KETIGA (MUSWIL III)
ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) KALIMANTAN TENGAH
“MEMPERKUAT IDENTITAS MASYARAKAT ADAT BERBASIS TENAGA DALAM KAMPUNG”
Aula Asrama Haji Palangka Raya, 15-17 September 2022
Pada tanggal 15-17 September 2022, telah dilaksanakan Musyawarah Wilayah (Muswil) Ketiga AMAN Kalteng, di Aula Asrama Haji Kota Palangka Raya. Muswil Ketiga AMAN Kalteng ini dihadiri oleh 14 Pengurus AMAN, baik Pengurus Wilayah (PW), Pengurus Besar (PB) maupun Pengurus Daerah (PD) dan utusan-utusan dari Komunitas adat anggota AMAN Kalteng dari berbagai wilayah di Kalimantan Tengah.
Sampai hari ini, Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah tetap terpinggirkan dan menjadi objek perampasan oleh negara dan perusahaan-perusahaan atas nama pembangunan. Sampai 77 Tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Masyarakat Adat tidak memiliki kesempatan untuk menikmati hak-haknya. Pembangunan seakan-akan hanya menjadi manfaat bagi kaum penguasa dan pengusaha saja. Pembangunan yang dirasakan oleh Masyarakat Adat sering hadir dalam bentuk pengusiran, pelarangan dan perampasan.
Polri dan TNI sebagai alat negara untuk melindungi warga negara, kami rasakan justru menjadi pelindung pihak perusahaan. Atas nama Hukum dan Undang-Undang, mereka merampas tanah leluhur dan bahkan dapur kami dengan sewenang-wenang. Alat negara yang seharusnya melindungi kami, justru digunakan untuk merampas dan mengintimidasi kami.
Wilayah Adat kami, sebagai warisan leluhur dan ruang hidup kami telah dirampas dari kami dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang merusak dan mengganti fungsi nya sebagai penghasil uang bagi para pengusaha. Kekayaan sumber daya alam diatas dan didalam tanah warisan leluhur tidak menjadi sumber kesejahteraan bagi kami, namun justru menjadi sebab diusirnya kami dari tanah ini. Dimata negara, kami adalah penumpang gelap diatas tanah ini, sementara para pengusaha adalah tamu VIP yang digelar karpet merah dan diberikan ijin untuk merusak tanah dan mengusir kami.
Berladang merupakan cara kami untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup kami sebagai Masyarakat Adat yang hidup di Kalimantan Tengah. Berladang adalah teknologi yang lahir dari pengetahuan asli yang diwariskan oleh leluhur. Berladang bukan hanya soal upaya pemenuhan kebutuhan pangan semata, melainkan sebuah bukti empiris tentang metode hidup bersama didalam alam. Dengan berladang, kami masih berhubungan dengan leluhur lewat ritual-ritual yang kami lakukan dalam setiap proses perladangan sejak mempersiapkan lahan, menanam dan panen.
Namun hari ini, Berladang menjadi sumber kriminalisasi bagi kami. Kami ditangkap dan dipidana dengan tuduhan pembakar lahan. Pelarangan membakar ladang mengakibatkan kami tidak bisa berladang. Tidak mungkin bagi kami untuk berladang tanpa membakar. Tanpa berladang kami kehilangan berbagai ritual yang penting dalam hidup kami. Beras yang kami tabur untuk ritual tidak bisa diganti dengan beras dipasar. Beras untuk ritual haruslah beras yang dihasilkan dari tanah kami yang kami dapatkan dari berladang. Melarang membakar berarti melarang kami berladang. Melarang berladang berarti melarang kami untuk hidup karena hidup tanpa hubungan dengan leluhur dan alam adalah sama dengan mati.
Keberadaan kami diatas wilayah adat kami merupakan kenyataan yang telah berlangsung sebelum negara ini ada. Namun pengakuan dari negara terhadap keberadaan kami sampai hari ini belum secara nyata kami rasakan. Undang-Undang Pengakuan dan Perlidungan Masyarakat Adat sebagai bukti pengakuan negara terhadap kami terus saja menjadi komoditas politik bagi partai-partai yang tidak kunjung menjadi kenyataan. Kelembagaan adat di Kalimantan Tengah seringkali menjadi alat negara dan perusahaan untuk menegasikan upaya adat kami dalam mempertahankan tanah. Kelembagaan adat yang diformalkan dan diseragamkan memaksa kami untuk mengutamakan superioritas negara, sejak dalam pikiran.
Berbagai bencana semakin hari semakin parah dan sering. Banjir semakin sering datang merendam kampung dan merusak ladang. Sungai semakin rusak akibat limbah, pupuk dan pestisida. Kampung kami yang berada dipinggir sungai perlu membuat proyek pengadaan air bersih karena air sungai telah mengandung racun.
Kami menyatakan bahwa kami mampu hidup dengan Alam. Alam yang menghidupi kami dan kami juga menghidupi alam. Hubungan hidup kami dengan alam kami landaskan pada kata “cukup” sebagai nilai dasar mengambil dari alam. Sejarah menerangkan bahwa cara kami hidup sejak ribuan bahkan jutaan tahun lalu telah berhasil menjaga keseimbangan hidup antara manusia dan alam yang terwujud dalam terjaganya hutan, lingkungan dan sumber daya alam. Namun justru ketika negara hadir, Hutan, lingkungan dan sumber daya alam semakin lama semakin hilang. Berganti dengan derita dan nestapa yang datang bertubi-tubi menerpa kehidupan kami sebagai masyarakat adat.
Kami menyatakan bahwa hutan, sungai, ladang dan adat adalah warisan kami bagi anak cucu kami di masa depan. Maka sudah menjadi kewajiban bagi kami untuk menjaganya supaya tetap terjaga sehingga dapat menjadi warisan yang baik bagi keturunan kami.
Kami menegaskan, bahwa secara universal, hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan secara nasional diakui dan dilindungi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18b dan 28i; Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH); Ketetapan MPR No. 9 Tahun 2001 mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam; serta Putusan MK No. 35/2012 tentang Hutan Adat.
Tantangan-tantangan kehidupan tersebut telah membawa kami, Masyarakat Adat yang hidup di Kalimantan Tengah, mengajukan resolusi sebagai berikut;
- Mendesak Pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat untuk melindungi Masyarakat adat yang melakukan aktifitas berladang sebagai bentuk kekayaan intelektual adat yang perlu dilindungi, termasuk aktifitas membakar sebagai bagian dari praktek kekayaan intelektual tersebut.
- Mendesak pemerintah untuk berhenti melakukan kriminalisasi terhadap peladang dan sebaliknya memberikan tindakan hukum yang adil bagi perusahaan yang merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat adat.
- Mendesak pihak perusahaan dan investor yang beroperasi di dalam dan atau disekitar wilayah adat kami untuk belajar hidup beradat dan menghormati para leluhur.
- Mendesak aparat negara untuk bertobat, meminta maaf kepada leluhur dan berhenti melakukan tindakan yang menyakiti masyarakat adat dan merusak ruang hidup masyarakat adat lewat peraturan, kebijakan dan tindakan kelembagaan yang tidak berdasarkan kepentingan publik.
- Mendesak Pemerintah untuk menertibkan Polri dan TNI agar berhenti melakukan intimidasi (jangan mengadu domba antar masyarakat adat) terhadap warga masyarakat; berhenti menjadi pengaman perusahaan dan kembali taat pada mandat konstitusi sebagai alat negara yang melindungi rakyatnya.
- Mendesak Pemerintah dan perusahaan untuk memastikan bahwa kegiatan investasi tidak boleh mengganggu atau menyakiti kehidupan masyarakat adat
- Mendesak pemerintah untuk meninjau ulang ijin-ijin perusahaan yang mengakibatkan terjadinya konflik dengan masyarakat adat dan tidak memberikan ijin-ijin baru sebelum semua konflik diselesaikan secara adil.
- Mendesak pemerintah untuk melakukan audit terhadap legalitas dan operasional perusahaan dan memberikan tindakan hukum yang tegas berupa pencabutan ijin bagi perusahaan yang melanggar
- Mendesak politisi, partai politik dan anggota legislatif (DPR RI) untuk segera mengesahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang.
- Mendesak Pemerintah dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mendorong lahirnya Perda pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat yang mengakui keberagaman dan menghindarkan penyeragaman di wilayahnya masing-masing.
- Mendesak DPRD, Partai Politik dan Politisi untuk sungguh-sungguh mengawal proses perda berdasarkan adat dan Nurani.
- Mengingatkan kepada seluruh perangkat kelembagaan adat Dayak untuk setia dan berpegang teguh pada Nilai-nilai luhur adat Dayak, serta melaksanakan tugas demi tegaknya keluhuran adat dan kepentingan masyarakat adat. Bukan kepentingan penguasa dan pengusaha yang justru merusak adat.
Kami menyadari bahwa perubahan yang lebih baik tidak mungkin terwujud dengan mudah. Oleh karena itu, kami seluruh Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan seluruh komunitas anggota AMAN di Kalimantan Tengah yang hadir sebagai peserta Muswil III AMAN Kalteng menyatakan sikap sebagai berikut;
- Masyarakat Adat tetap percaya pada nilai-nilai luhur adat, hubungan dengan leluhur, identitas dan kekuatan dari dalam kampung untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
- Kami akan tetap berladang dengan tuntunan pengetahuan yang diwariskan oleh leluhur, termasuk membakar sebagai tahapan penting dalam berladang. Berladang adalah harga diri bagi kami masyarakat adat.
- Kami akan tetap menjaga wilayah adat kami dari perampasan oleh pihak manapun dengan segenap kemampuan dan upaya apapun yang dapat kami lakukan sampai titik darah penghabisan.
- Kami tetap berpegang pada pernyataan awal berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 1999: “Jika Negara Tidak Mengakui Kami, Maka Kami Tidak Mengakui Negara”.
- Semua yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah hal-hal terakhir seperti sungai terakhir, hutan terakhir, mata air terakhir, bukit terakhir, kepercayaan terakhir, dan berbagai hal lainnya yang terakhir. Jika hal tersebut tetap ingin dirampas, kami akan cabut kepercayaan kami dan kami akan mempertahankannya habis-habisan.
Demikian Resolusi ini kami sepakati sebagai bentuk dari kesadaran kami terhadap berbagai situasi memperihatinkan yang dihadapi Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah.
Disepakati pada tanggal 17 September 2022
Tertanda,
Seluruh Peserta Muswil III AMAN Kalimantan Tengah
Pingback: “MA’AWE TAKAM? (mau kemana AMAN KALTENG?)” - PW AMAN KALIMANTAN TENGAH
Perjuangan yg sangat panjang….mantap