BeritaPemuda Adat

Pemuda Kembali Ke Akar Lewat Kemah Adat

 

 

 

Foto bersama yang dilakukan setelah pendirian tenda oleh peserta kemah adat BPAN Kotawaringin Barat (Dokumentasi Panitia PDD BPAN Kobar)

 

Dalam upaya menjaga warisan budaya dan memperkuat identitas pemuda adat, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kotawaringin Barat (Kobar) mengadakan kegiatan Kemah Adat pada Sabtu (02/11/24) di Kecamatan Kumai, Desa Sabuai, Kobar. Kegiatan ini mengusung tema “Membentuk Pemuda yang Berperspektif dan Berjiwa Masyarakat Adat dalam Dinamika Sosial Modern” dan dihadiri oleh pemuda dari berbagai komunitas adat di Kobar.

Selama dua hari kegiatan, selain membagikan nilai-nilai adat dan budaya yang ada di Kobar, kegiatan ini juga dirancang untuk sarana pendidikan yang lebih luas, mencakup pendidikan lingkungan, politik, ekonomi lokal, serta sosial masyarakat adat. Tujuan utamanya adalah memperkuat pemahaman pemuda akan pentingnya menjaga keseimbangan alam di wilayah adat mereka, mengingat masyarakat adat memiliki keterikatan yang mendalam dengan alam sekitar. Hal ini sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat di era modern, di mana modernisasi dan marjinalisasi semakin mengancam keberlanjutan mereka.

“Ini adalah momen penting untuk memperkuat semangat dan peran generasi muda dalam pelestarian budaya dan lingkungan adat mereka, terutama di tengah modernisasi yang terus berkembang dan marjinalisasi yang dialami oleh masyarakat adat. Kegiatan ini menyatukan tradisi dengan ilmu pengetahuan, menciptakan jembatan penghubung antara masa lalu dan masa depan,” ungkap Sandi Kurniawan, ketua BPAN Kobar.

 

 

Tetua adat di Desa Sabuai yang memimpin prosesi tapung tawar peserta kemah adat (Dokumentasi Panitia PDD BPAN Kobar)

 

Pembukaan acara mendapat sorotan dengan prosesi tradisi tapung tawar yang sarat makna. Tapung tawar berasal dari kata “tapung” (tepung) dan “tawar,” yang dalam bahasa Banjar dapat diartikan sebagai pengobatan. Ritual ini melibatkan percikan air yang dicampur kunyit dan disertai doa-doa dari para tetua adat. Media untuk memercikkan air biasanya berupa potongan dan anyaman daun pisang, daun kelapa, atau daun sirih.

Di kalangan masyarakat Dayak dan Melayu, tapung tawar dikenal sebagai tradisi sakral yang dilakukan pada berbagai acara penting, mulai dari pernikahan hingga upacara adat besar, sebagai upaya tolak bala untuk menolak pengaruh negatif dan membawa keselamatan bagi para peserta. Ritual ini telah menjadi identitas khas masyarakat adat dalam menjaga keseimbangan spiritual dan hubungan mereka dengan alam.

“Ritual ini adalah pengingat bahwa meskipun dunia berubah, akar budaya dan nilai-nilai leluhur sebagai identitas harus terus dilestarikan,” ujar Muzy, ketua bidang Hubungan Masyarakat dan Sosial (Humas) BPAN Kobar.

 

 

Nonton bersama dan diskusi tiga film tentang masyarakat adat di tengah perkemahan (Dokumentasi Panitia PDD BPAN Kobar)

 

Selain itu, dalam rangkaian acara juga diadakan sesi nonton bersama (nobar) tiga film yang bertujuan menggugah pemahaman kolektif pemuda adat mengenai konflik agraria dan peran penting perempuan adat. Setelah pemutaran film, sesi diskusi interaktif membuka ruang untuk berbagi pandangan, pengalaman, serta memperkuat solidaritas. Menariknya, kisah-kisah dalam film tersebut ternyata bukan sekadar cerita dari daerah tertentu, tetapi juga dialami langsung oleh beberapa peserta dari komunitas adat yang hadir.

Diskusi ini memantik wawasan baru mengenai pentingnya peran aktif pemuda dalam mengawal, melestarikan warisan leluhur dan untuk saling bersolidaritas bersama dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di tengah arus globalisasi yang semakin kuat.

“Pemuda adalah sebagai ujung tombak masyarakat adat. Tanpa pemuda yang memahami dan berjuang untuk adat, masyarakat adat akan tergerus dan tidak punya ruang untuk bertahan,” ujar Rusdi, peserta.

 

Sesi diskusi dan presentasi kelompok oleh seluruh peserta kemah adat (Dokumentasi Panitia PDD BPAN Kobar)

 

Tak hanya itu, peserta juga mendapatkan wawasan dari narasumber yang dihadirkan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, Kesyadi Antang. Selain memberikan materi mengenai isu-isu agraria dan lingkungan yang dihadapi komunitas adat Dayak, seperti ancaman deforestasi, degradasi lahan, dan dampaknya terhadap ekosistem serta budaya lokal, Kesyadi juga menyampaikan pesan reflektif tentang identitas masyarakat adat dalam dinamika zaman.

“Masyarakat adat bukan hanya mereka yang hidup di desa atau hutan, tetapi termasuk kita semua yang hidup di kota, yang tetap menjaga, menghormati, dan mempraktikkan nilai-nilai leluhur,” ujar Kesyadi.

Kesyadi menekankan pentingnya berpikir kritis bagi pemuda adat, sebagai salah satu kunci untuk memahami persoalan yang ada. Ia menjelaskan bahwa pemuda adat harus mampu melihat dan memahami kondisi masyarakat adat secara komprehensif, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Untuk itu, sesi diskusi per kelompok dan presentasi yang mengedepankan analisis sosiologis pun diadakan.

Dalam sesi diskusi, para peserta diajak untuk menganalisis kondisi masyarakat adat dan merenungkan kaitan-kaitan historis dan struktural yang mempengaruhi kehidupan mereka. Beberapa kelompok menarik kesimpulan bahwa masalah yang dihadapi masyarakat adat tidak hanya terletak pada aspek struktural semata, tetapi juga berkaitan erat dengan kesadaran terhadap nilai budaya dan lingkungan yang mereka jaga.

 

Seorang nelayan sedang menangkap ikan dekat pinggir pantai Sabuai (Dokumentasi Panitia PDD BPAN Kobar)

 

Selama dua hari kegiatan di tepi pantai Sabuai, peserta diajak untuk merasakan langsung hubungan erat antara manusia dan alam, di mana setiap elemen lingkungan memiliki peran penting dalam keberlanjutan hidup. Sayangnya, fakta yang ada menunjukkan bahwa wilayah pesisir Sabuai yang dahulu kaya akan sumber daya alam kini hanya menyisakan sekitar 10 nelayan yang masih bertahan.

Fenomena penurunan jumlah nelayan menggambarkan bagaimana keseimbangan alam semakin terganggu dan banyak orang lebih memilih sektor lain yang dianggap lebih menguntungkan. Namun, melalui kegiatan ini, para peserta diajak untuk memahami betapa pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, serta mengelola sumber daya alam dengan cara yang tidak merusak.

 

 

Acara penutupan kemah adat diisi dengan permainan dan sesi refleksi (Dokumentasi Panitia PDD BPAN Kobar)

 

Di penghujung acara, suasana penuh harapan terpancar dari para peserta yang merasakan pengalaman mendalam dalam mengenal dan memahami budaya serta kearifan lokal mereka. Acara ditutup dengan serangkaian permainan dan sesi refleksi yang mempererat kebersamaan dan semangat kerja sama antar pemuda adat. Tawa dan sorak sorai mengisi udara, menandai semangat baru yang tercipta di antara para peserta.

Ketua Barisan Pemuda Adat Kotawaringin Barat, Sandi Kurniawan, menekankan pentingnya kegiatan ini sebagai wadah pembelajaran yang tidak hanya bersifat edukatif, tetapi juga mengandung nilai filosofis yang mendalam bagi pemuda adat, yakni untuk kembali ke akar.

“Kami ingin para pemuda menyadari bahwa budaya bukan sekadar warisan, tetapi adalah bagian dari jati diri yang harus dirawat dan diperjuangkan. Kegiatan ini juga mengingatkan kita akan tanggung jawab bersama dalam menjaga hutan dan lingkungan, yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat,” pungkasnya.

 

 

 

 

Thata Debora Agnessia/BPANKOBAR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *