Berita

“Suara dari Hutan Tropis Tumbang Bahanei”

Pengurus Harian Wilayah (PHW) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah bersama para Basir dan masyarakat di Lewu Tumbang Bahanei

Komunitas Adat Tumbang Bahanei merupakan salah satu lewu yang masih memelihara tradisi dan budaya adat suku Dayak dengan kuat. Budaya dan tradisi yang dipertahankan oleh masyarakat lewu ini erat kaitannya dengan spiritualitas dan penghormatan terhadap alam, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Berada di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, desa ini dikelilingi oleh hutan tropis yang masih asri serta sungai-sungai yang telah menjadi sumber kehidupan dan identitas bagi masyarakat setempat.

Pada hari Rabu, 11 September 2024, Komunitas Adat Tumbang Bahanei menjadi saksi dari pelaksanaan Ritual Pamuhun Sahur, sebuah ritual adat yang penuh makna sebagai wujud syukur atas perjuangan panjang masyarakat adat setempat. Acara ini diadakan di sekretariat Komunitas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dihadiri oleh berbagai pihak, mulai dari warga desa hingga perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dari tingkat wilayah dan daerah.

Tampak antusias masyarakat adat desa Tumbang Bahanei mengikuti ritual Pamuhun

Ritual Pamuhun Sahur bukan sekadar seremonial belaka, melainkan sebuah penghormatan terhadap usaha tak kenal lelah yang telah dijalani oleh masyarakat adat sejak tahun 2014. Perjuangan mereka mencakup pemetaan wilayah adat dan berbagai inisiatif untuk memperoleh pengakuan atas hak-hak mereka terhadap tanah dan hutan adat. Setelah 10 tahun lamanya, pada akhirnya, hak atas tanah dan hutan adat masyarakat Dayak di Lewu Tumbang Bahanei diakui dan dilindungi oleh pemerintah daerah dan pusat.

Pengakuan hutan adat ini ditetapkan melalui Keputusan Bupati Gunung Mas dengan nomor 100.3.3.2/344/2023, yang secara resmi memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap 14 masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Selain itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia juga turut memberikan dukungan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan nomor SK.7918/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/8/2023, yang menetapkan status hutan adat di wilayah Dayak Ngaju Lewu Tumbang Bahanei dengan luas mencapai 5.110 hektar.

 

Momentum ini merupakan pencapaian besar bagi masyarakat adat di Lewu Tumbang Bahanei, khususnya dalam menjaga keberlanjutan hutan yang menjadi bagian penting dari identitas dan kelangsungan hidup mereka. Hutan adat tidak hanya sekadar bentangan alam yang hijau, tetapi juga tempat yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan spiritual. Oleh karena itu, pengakuan ini merupakan bentuk penghargaan terhadap hak dan keberadaan masyarakat adat, yang selama bertahun-tahun terpinggirkan oleh modernisasi dan eksploitasi sumber daya alam.

Para Basir sedang memimpin ritual pamuhun sahur dengan membacakan mantra-mantra khusus pada malam hari, tanggal 11 September 2024

Kegiatan ritual Pamuhun Sahur dihadiri oleh masyarakat Lewu Tumbang Bahanei dan sejumlah warga dari kampung tetangga. Selain itu, ada juga lima perwakilan dari Pengurus Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Provinsi Kalimantan Tengah, perwakilan dari Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Gunung Mas, serta Damanda (Dewan AMAN Daerah) Gunung Mas. Keberadaan para tokoh adat dan perwakilan ini menambah kekhidmatan dan semangat dalam acara tersebut, yang diwarnai dengan rasa syukur dan harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi masyarakat adat.

Hadi, perwakilan dari Damanda (Dewan AMAN Daerah) Gunung Mas, dalam sambutannya mengingatkan pentingnya peran Mantir Adat di lewu ini. Ia menekankan bahwa Mantir Adat harus bekerja sama dengan pemerintah desa untuk menjaga dan melindungi hutan adat serta wilayah adat yang telah diakui. Menurutnya, status desa adat yang telah resmi diberikan harus dijaga dan dilestarikan dengan penuh tanggung jawab. Mantir Adat diharapkan dapat memahami tugasnya dengan baik dan terus berkolaborasi dengan pihak pemerintah desa demi keberlangsungan tradisi, adat, dan hutan yang menjadi warisan leluhur.

Pak Hadi juga menyampaikan harapan agar Mantir Adat tidak kehilangan arah dalam menjalankan peran pentingnya. Dalam konteks yang lebih luas, pengakuan hutan adat bukan hanya tentang legalitas semata, tetapi juga tanggung jawab yang besar untuk menjaga ekosistem alam serta tradisi yang telah turun temurun diwariskan. Kerjasama antara masyarakat adat dan pemerintah desa menjadi kunci utama dalam menjaga kelestarian hutan adat, yang kini telah diakui sebagai milik mereka secara resmi.

Komunitas Adat Tumbang Bahanei tampak antusias bahu membahu untuk mengikat hewan kurban berupa aneka ayam, babi dan sapi lalu memotongnya sebagai syarat ritual Pamuhun Sahur

Sementara itu, Ketua Panitia Penyelenggara acara, yang juga merupakan salah satu tokoh adat dihormati di lewu tersebut, menyampaikan sambutannya dengan penuh semangat. Ia menjelaskan asal mula terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan bagaimana komunitas masyarakat adat di Lewu Tumbang Bahanei terlibat dalam gerakan ini. Dengan antusias, ia mengingatkan kembali tentang perjalanan panjang yang telah dilalui oleh masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka dan betapa pentingnya untuk terus berjuang demi kelestarian alam dan budaya.

Dalam sambutannya, ia juga membagikan kisah pribadi tentang pengalamannya mengikuti kongres di Kec. Tabelo, Kab. Halmahera Prov. Maluku Utara beberapa tahun lalu. Ia mengakui bahwa pada awalnya tidak memahami apa itu AMAN, tetapi setelah mendengarkan cerita-cerita dan pengalaman dari para peserta kongres, ia sadar bahwa AMAN adalah suara dari masyarakat adat yang telah lama tertindas. Masyarakat adat digambarkan seperti batu yang tenggelam oleh lapisan-lapisan tanah, tetapi melalui perjuangan kolektif, mereka berhasil membongkar dan menemukan kembali kekayaan warisan leluhur mereka.

Dagik, salah satu tokoh masyarakat yang juga berbicara dalam acara tersebut, menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yang telah lama diabaikan. Ia menekankan bahwa perjuangan tersebut tidaklah mudah, namun dengan kerja keras dan kebersamaan, masyarakat adat berhasil mengusir penjajah dan mempertahankan tanah leluhur mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa semangat masyarakat adat tidak pernah padam, meskipun mereka telah mengalami berbagai tantangan selama ratusan tahun.

Acara Ritual Pamuhun Sahur ini juga menjadi momen refleksi bagi masyarakat adat untuk menghargai jasa-jasa para leluhur yang telah berjuang sebelum mereka. Penghormatan terhadap leluhur menjadi bagian penting dari identitas masyarakat adat, dan hal ini terlihat jelas dalam setiap rangkaian ritual yang dilaksanakan. Selain itu, acara ini juga memperkuat ikatan antar generasi, di mana para orang tua dan tetua adat berbagi cerita dan kebijaksanaan dengan generasi muda, agar mereka dapat melanjutkan perjuangan dalam menjaga kelestarian alam dan budaya.

Alfianus Genesius Rinting, Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dari PHW AMAN Kalimantan Tengah, dalam sambutannya juga menjelaskan secara rinci mengenai pentingnya pemetaan hutan adat. Ia mengingatkan bahwa pemetaan tersebut bukan hanya tentang membuat batas-batas wilayah, tetapi juga tentang menjaga warisan leluhur yang ada di dalamnya. Menurutnya, peta tidak akan memiliki arti apa-apa jika tidak digunakan oleh masyarakat adat untuk melindungi hak-hak mereka dan menghadapi tantangan yang akan datang.

Pun Ia menyinggung tentang tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat adat saat ini. Ia menyebutkan bahwa 70% masalah yang menghancurkan masyarakat adat berasal dari dalam, bukan dari luar. Hal ini menjadi peringatan bahwa masyarakat adat harus bersatu dan tidak saling merugikan satu sama lain. Dalam sambutannya, Ia juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan acara ini, termasuk kepada Pak Yester yang datang dari Tumbang Kajuei serta para tokoh adat yang memainkan peran penting dalam ritual tersebut.

Acara ditutup dengan penuh syukur dan harapan besar agar masyarakat adat dapat terus mempertahankan tradisi dan hutan mereka. Kehadiran para pemimpin adat, perwakilan AMAN, dan warga desa lainnya menunjukkan bahwa komunitas adat di Desa Tumbang Bahanei memiliki semangat yang kuat untuk menjaga warisan leluhur mereka. Di tengah arus modernisasi dan ancaman terhadap alam, masyarakat adat Dayak di Lewu Tumbang Bahanei tetap teguh mempertahankan identitas mereka dan menjaga hubungan harmonis dengan alam yang telah memberikan kehidupan kepada mereka selama berabad-abad.

Ritual Pamuhun Sahur ini menjadi simbol dari keberhasilan perjuangan masyarakat adat yang telah lama terpinggirkan, sekaligus pengingat bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk melindungi hak-hak adat di masa depan. Semoga semangat dan perjuangan masyarakat adat di Desa Tumbang Bahanei menjadi inspirasi bagi komunitas adat lainnya di seluruh Nusantara.

DuaEnam/AMANKALTENG

***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *