Peta sebagai Upaya dalam Menegaskan Hak atas Tanah dan Wilayah Masyarakat Adat
Bertempat di Betang Toyoi, Komunitas Adat Lewu Tumbang Malahoi Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 18 – 24 Oktober 2023, Pelaksana Harian Wilayah (PHW) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah resmi melaksanakan Kegiatan ToT (Training of Trainers) Pemetaan Partisipasif Wilayah Adat (PPWA). Adapun kegiatan ini juga dihadiri oleh 1 (satu) Pengurus Besar AMAN yang diwakili oleh Sapot selaku Staff Data Spasial Pengurus Besar AMAN.
Total peserta dalam kegiatan ini adalah berjumlah 20 (dua puluh) orang dan dalam pembukaan kegiatan turut hadir Iseskar selaku Kepala Desa Tumbang Malahoi, yang dalam sambutannya sekaligus membuka kegiatan ToT ini menyampaikan dukungan terhadap kegiatan TOT yang di laksanakan di Lewu Tumbang Malahoi, serta memberikan apresiasi terhadap yang telah dilakukan Pengurus Daerah (PD) AMAN di Gunung Mas. Turut hadir dalam pembukaan dan penyampaian sambutan ini Sekretaris Damang Rungan dan Kali M. Pukas selaku Mantir Adat Lewu Tumbang Malahoi.
Dalam hasil Rencana Strategis (RenStra) dan Rapat Kerja Wilayah (RaKerWil) AMAN Kalimantan Tengah, pada tanggal 17-18 Agustus 2023 lalu juga memutuskan ada 4 (Empat) poin utama yang di jalankan dalam rencana kerja 4 (Empat) tahun ke depan, salah satunya yaitu percepatan pemetaan partisipatif di komunitas anggota AMAN Se-KALTENG. Maka besar harapan kita agar hasil dari TOT ini bisa mendorong percepatan PPWA di KALTENG, karena sudah memperkuat staff UKP3 (Unit Kerja Percepatan Pemetaan Partisipatif) Pengurus Wilayah (PW) dan Pengurus Daerah (PD) serta menambah beberapa sumber daya manusia yang bisa menjadi fasilitator PPWA di Komunitas-Komunitas.
Alfianus G. Rinting selaku Ketua Panitia TOT Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat menyampaikan alasan kenapa TOT kali ini dilaksanakan di Lewu Tumbang Malahoi dan prakteknya di Desa Langgah “Komunitas lewu Tumbang Malahoi dipilih sebagai tempat pelatihan karena relatif lebih solid secara internal. Sedangkan Komunitas Lewu Tumbang Langgah dipilih sebagai tempat praktek karena sudah ada inisiatif untuk melakukan pemetaan wilayah adatnya dan posisi tidak jauh dari Tumbang Malahoi. Hanya 45 (Empat Puluh Lima) menit menggunakan kendaraan bermotor”.
Selama 7 (tujuh) hari peserta berada di Komunitas Tumbang Malahoi dan Komunitas Tumbang Langgah tentunya banyak pengalaman yang di dapatkan, dalam 4 (empat) hari menerima materi dari fasilitator maka peserta juga di arahkan untuk melakukan praktek selama 3 (tiga) hari di Komunitas Tumbang Langgah. Tentunya banyak hal baru yang peserta dapatkan.
“Saya mendapat pengalaman untuk cara bersosialisasi dengan komunitas, penggunaan alat pemetaan GPS, pembuatan peta kasar, serta bisa berbagi pengalaman dengan komunitas dari daerah lain di Kalteng. Harapan saya juga pelatihan seperti ini dapat dilakukan lagi di komunitas lain, sampai peserta benar-benar bisa dan dapat mengolah peta sendiri” tutur Fadli Santosa B peserta dari Pengurus Daerah (PD) Lamandau.
Pun Supantri, peserta yang berasal dari PD Barito Selatan mengatakan, “Yang di dapatkan setelah pelatihan yaitu ilmu pemetaan baik yang spasial dan non spasial, harapan Saya selaku peserta pelatihan agar pelatihan tetap berlanjut sampai peserta bisa membuat peta baik manual maupun di komputer, dan harapan kami seluruh wilayah komunitas dapat kita petakan seluruh Kalimantan Tengah”.
Selaras pula dengan apa yang disampaikan oleh Sapot selaku Staff Data Spasial Pengurus Besar (PB) AMAN, dimana juga menjadi fasilitator di dalam kegiatan TOT ini, “Kita tentunya memiliki peluang kebijakan yang saat ini sudah ada walaupun masih berupa skema yang terpisah-pisah pada kementrian dan lembaga. Skema kebijakan dapat menjadi peluang pemersatu masyarakat karena peta merupakan salah satu syarat dalam kebijakan pengakuan masyarakat adat menurut pemerintah, adapula tantangan yang ada, adalah keengganan dan ketidakterbukaan nya pemerintah pada pelaksanaan pemetaan partisipatif, sehingga muncul penilaian pada masyarakat bahwa pemetaan partisipatif adalah program semata dan terkesan illegal. Kemudian juga ada ancaman yang timbul pada pemetaan partisipatif yaitu penggunaan data peta yang tidak sesuai tujuan dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang merugikan. Disisi yang lain juga besar harapan bagi peserta pelatihan, mampu mengaplikasikan keilmuan dan pengetahuan yang didapat, serta membuka ruang diskusi terkait Gerakan masyarakat adat baik di lingkungan kampung maupun mitra gerakan”.
Seperti yang kita ketahui Hak Menguasai Negara (HMN) sangatlah besar sehingga kita butuh skema pengakuan terlebih dahulu agar bisa secara legal formal memiliki wilayah adat. Skema pengakuan yang dikeluarkan ini tentu adanya syarat, salah satunya adalah peta wilayah adat. PPWA memiliki peluang yang sangat besar bagi Masyarakat Adat agar Negara secepatnya mengembalikan Wilayah Adat kepada Masyarakat Adat yang dari turun temurun sudah berada di wilayah itu, namun sebaliknya disisi yang lain hal ini juga pasti akan memiliki tantangan dan ancaman bagi Masyarakat Adat itu sendiri.
Adapun tantangan dan ancaman PPWA untuk Masyarakat Adat itu sendiri adalah mulai terputusnya ruang hidup kesejarahan yang saling berkaitan akibat sekat – sekat dan pembatasan dari munculnya peta, meruncingnya persoalan batas-batas wilayah adat dengan Komunitas lainnya, besarnya pendanaan agar tercapainya pengakuan masyarakat hukum adat, serta melemahnya kekuatan tenaga dalam yang sudah ada.
Dengan melihat peluang dan tantangan sekaligus ancaman tersebut tidak menutup untuk proses PPWA ini akan terus kita upayakan, mengingat ini penting diperhitungkan. Secara konteks Masyarakat Adat perlu perhatian dan cara pandang khusus dalam melihat dinamika ini agar percepatan pemetaan partisipatif ini tidak menjadi boomerang bagi Gerakan Masyarakat Adat nantinya. Alfianus G. Rinting menambahkan, “Pemetaan Wilayah Adat adalah alat. Alat konsolidasi antar orang, antar kampung, antar sungai, antar manusia dengan alam. Disaat yang sama, justru bisa terjadi sebaliknya. Menjadi alat pemecah. Pembacaan konteks dan kesejarahan ruang hidup menjadi penting. Dan kesemuannya itu membuat pengakuan dari pemerintah menjadi prioritas akhir”.
Ini diharapkan menjadi langkah panjang ke depan mengingat banyak keterbatasan staff di PW dan PD terkait Fasilitator dalam kegiatan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat kepada Komunitas-Komunitas anggota AMAN di Kalimantan Tengah.“Secara kesejarahan, wilayah adat beserta dengan segala bentuk kehidupan yang berlangsung didalamnya sudah ada, dimiliki dan dikuasai oleh Masyarakat Adat di Wilayah tersebut secara turun temurun. Untuk itu, maka pemetaan Wilayah Adat merupakan salah satu cara untuk menegaskan apa yang sudah dimiliki tersebut oleh Masyarakat Adat, terlebih untuk menyikapi situasi penyelenggaraan Negara ini yang cenderung mengharuskan sesuatu yang tertulis nan formal. Dalam konteks kerorganisasian AMAN, khususnya berdasarkan KMAN VI lalu bahwa seluruh komunitas anggota AMAN wajib untuk melakukan pemetaan wilayah adat dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak KMAN VI atau sejak disahkan menjadi anggota AMAN. Oleh sebab itulah maka pemetaan wilayah adat merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan oleh komunitas adat anggota AMAN” ucap Ferdi Kurnianto selaku Ketua PHW AMAN Kalimantan Tengah.
YAS – AMANKALTENG
semoga bermanfaat untuk kita semua dalam mempertahankan hak-hak adat