Nestapa Sungai Arut
Para tetua masih sering mengenang Sungai Arut, di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, yang konon sumber kehidupan bagi semua yang hidup, bahkan yang tak kasat mata. Tak ada dahaga, air sungai dapat langsung diminum. Kini, pemandangan itu hampir tak pernah terlihat, air bersih pun jadi barang mahal.
Di sepanjang bantaran Sungai Arut, tumpukan sampah rumah tangga dan limbah domestik mencemari air yang dulunya jernih. Sempat menjadi urat nadi masyarakat, kini kondisi sungai itu sangat menyedihkan. Para warga dahulu yang menggantungkan hidup dari sungai, kini harus berpikir ulang. Sungai Arut tak lagi menyediakan nikmat seperti dulu.
Amin (49), seorang warga yang lahir dan besar di tepi Sungai Arut, bercerita.
“Dulu, anak-anak bermain dan berenang di sungai ini. Sekarang memang masih ada, tapi tak seramai dulu” katanya
dengan nada getir. Sungai yang dulu menjadi tempat bermain kini lebih banyak menyisakan kecemasan. Airnya keruh dan tercemar. Mereka yang nekat berenang berisiko terkena gatal-gatal terutama bagi mereka yang tak terbiasa. Kini warga harus mencari sumber air lain yang jauh lebih mahal.
Amin melanjutkan, sekarang untuk mendapatkan air bersih yang layak dikonsumsi, warga biasanya memesan air dalam jirigen yang berisi 33 liter air, dijual dengan harga Rp. 5.000/ jirigen oleh paman air. Pasokan air tersebut diambil dari sumur umum yang ada di kawasan tanah mineral dan liat di dataran rendah yang kaya akan air bersih. Kawasan tersebut agak jauh dari Sungai Arut, dan berada tepat di bawah bukit Indra Kencana lokasi Istana Kuning.
Banyak warga kini terpaksa membeli air jirigen atau PDAM untuk menopang kegiatan sehari-hari. Sayangnya, tak semua mampu melakukan hal ini. Mereka yang berada dalam kondisi ekonomi terbatas masih harus bergantung pada air sungai yang sudah tercemar.
“Warga yang terbatas secara ekonomi terpaksa menggunakan air sungai, namun biasanya tetap membeli air jirigen untuk minum saja,” jelas Amin
Kerusakan Sungai Arut mulai terlihat sejak 1990-an, seiring maraknya penambangan emas ilegal yang menggunakan merkuri. Puncaknya terjadi pada tahun 2000, ketika pencemaran semakin parah dan air sungai berubah warna menjadi kecoklatan, tak lagi jernih seperti dulu. Limbah industri pun turut andil dalam menghancurkan ekosistem sungai ini. Pabrik-pabrik di sekitar daerah aliran sungai membuang limbahnya tanpa melalui proses penyaringan yang memadai, menyebabkan air sungai semakin beracun.
Namun, pencemaran tidak hanya berasal dari limbah industri dan merkuri, tetapi juga dari sampah domestik dan tinja manusia. Banyak permukiman di sepanjang bantaran sungai yang masih membuang sampah langsung ke air, menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan akhir yang tidak resmi. Dahulu sebagian besar rumah di pinggir sungai tidak memiliki sistem sanitasi yang memadai, sehingga limbah tinja langsung dialirkan ke sungai tanpa pengolahan. Akibatnya, kualitas air semakin memburuk.
Selain pencemaran, Sungai Arut juga mengalami pendangkalan yang drastis. Dulu, sungai ini merupakan jalur transportasi utama bagi kapal-kapal besar berkapasitas ratusan ton. Kini, transportasi air mulai berkurang karena sedimentasi yang membuat aliran sungai semakin dangkal. Kapal-kapal besar tak lagi bisa melintas, digantikan oleh kelotok dan speedboat kecil yang hanya bisa digunakan oleh segelintir orang.
Pendangkalan ini sebagian besar diakibatkan oleh sodetan sungai buatan untuk kepentingan irigasi kebun dan pertanian. Penggundulan hutan di sekitar daerah aliran sungai juga berkontribusi pada erosi yang mempercepat sedimentasi. Akibatnya, sungai tak hanya semakin dangkal, tetapi juga semakin menyusut.
(Sampah yang menumpuk di pinggiran Sungai Arut)
Pemerintah daerah telah berupaya mengatasi pencemaran melalui program pembersihan sungai. Upaya ini memang berhasil mengurangi jumlah jamban (tempat pembuangan kotoran di sungai) dan sampah di permukaan, tetapi tanpa langkah berkelanjutan, dampaknya hanya bersifat sementara. Ketika ekosistem sudah terlanjur rusak, pemulihannya tidak akan mudah, bahkan bisa menjadi mustahil. Program pembersihan sungai terus dijalankan, namun tanpa tindak lanjut yang serius dan kebijakan yang tegas, masalah pencemaran akan berulang.
Masalah pencemaran ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi juga masalah struktural yang berakar pada kebijakan lingkungan yang lemah, penegakan hukum yang tidak tegas, serta kurangnya infrastruktur pengelolaan limbah yang memadai. Selain itu, banyak pengusaha yang masih mengabaikan tanggung jawab ekologis mereka, dengan produksi kemasan tak ramah lingkungan dan membuang limbah industri secara sembarangan tanpa konsekuensi yang jelas.
Sungai Arut bukan satu-satunya yang mengalami nasib tragis seperti ini. Banyak sungai di Indonesia menghadapi ancaman serupa akibat eksploitasi berlebihan dan kurangnya kesadaran lingkungan. Nestapa Sungai Arut adalah potret nyata bagaimana manusia sering kali lupa menjaga alam yang telah memberikan kehidupan bagi mereka.
Kini, Sungai Arut menangis, menunggu kepedulian yang mungkin datang terlambat. Setiap aliran air yang kotor mencerminkan derita panjang yang tak terlihat oleh banyak mata. Sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi ribuan orang kini sudah diambang kerusakan, tercemar oleh limbah industri, sampah, dan tinja manusia. Ekosistemnya hancur, makhluk hidup yang bergantung padanya pun terpinggirkan.
Thata Debora Agnessia/Jurnalis Masyarakat Adat dari Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah
***