Cerita dari Kampung

Jejak Waktu Di Tanah Moyang

(Bukit Balang di desa Panahan – Arsip milik Selasten)

Di bagian ujung Kalimantan Tengah, ada kampung bernama “Panahan” yang namanya jarang disebut. Ia mungkin tak pernah muncul dalam cerita besar tentang sejarah bangsa, tetapi di sanalah banyak kisah kecil manusia dimulai. Kampung halaman, atau saya lebih senang menyebutnya dengan “tanah moyang”sebuah tempat yang tak hanya menjadi ruang tinggal, tetapi ketika menyebutnya sebagai “tanah moyang,” ada lapisan makna yang lebih kaya.

Di Panahan, pagi datang dengan cara yang sedikit berbeda. Dikelilingi bukit, matahari baru mulai tampak sekitar pukul 07.00 WIB, disertai kokok ayam yang memecah kesunyian, diiringi suara babi peliharaan yang kelaparan. Di dapur-dapur rumah kayu, asap mengepul dari tungku tradisional.  Aroma kayu terbakar bercampur harum kopi hitam pekat yang diseduh dengan kesederhanaan. Ibu-ibu menyiapkan sarapan seadanya: nasi hangat dengan ikan asin, ditemani sambal pedas yang dibuat dengan cobek batu. Semua terasa begitu hangat.

Setelah sarapan, semua orang melakukan pekerjaan masing-masing. Berkebun, sekolah, menebas, atau anak kecil yang berlarian di halaman rumah. Anak kecil biasanya tak akan berhenti bermain hingga baju mereka lusuh. Beberapa bermain kelereng, lainnya lompat tali, atau sekadar mengejar bayangan masing-masing. Di anak tangga tetua desa, anak-anak yang lebih besar duduk bersenda gurau atau mendengarkan cerita dari tetua yang sedang duduk menyirih atau mengayam. Tak ada gadget di tangan mereka, tak ada notifikasi yang mengganggu. Yang ada hanyalah obral seru yang terdengar sampai jauh.

Setiap jalan tanah di kampung ini menyimpan cerita. Ada jalan setapak menuju Sungai Arut tempat anak-anak belajar berenang. Ujung sungai itu dikelilingi bebatuan besar, tempat duduk favorit untuk menikmati ketenangan alam yang masih asri. Ada hutan yang masih hijau bak tak pernah disentuh oleh manusia, suara air dan suara kicauan burung menjadi musik alam yang menenangkan jiwa.

Namun, waktu tak pernah sepenuhnya berhenti. Kampung ini, seperti tempat lain, perlahan berubah. Anak-anak yang dulu bermain kelereng kini tumbuh besar dan memilih merantau ke kota. Sebagian besar pulang hanya saat perayaan besar. Rumah-rumah kayu yang dulu penuh kehidupan mulai berganti dengan tembok beton yang dingin. Jalan-jalan tanah sebagian diaspal, menggantikan suara sepatu yang bersentuhan dengan debu, dengan deru knalpot motor.

Dulu, mobil pickup yang membawa bahan pokok berkeliling desa, menawarkan beras, gula, sayur-mayur, dan kebutuhan lainnya, namun kini keberadaannya semakin jarang. Warga lebih memilih pergi ke kota untuk berbelanja, memilih kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan minimarket modern. Hutan yang dulu lebat kini perlahan gundul akibat kekuatan modal atas nama pembangunan. Rumah-rumah baru, pola hidup masyarakat yang baru pelan-pelan mengubah wajah kampung, meninggalkan kenangan masa lalu yang semakin memudar.

Sungai yang dulu jernih dan menjadi sumber kehidupan kini mulai tercemar, tergerus oleh aktivitas manusia yang tak lagi menghiraukan dampaknya. Pembangunan membawa perubahan yang begitu cepat, tetapi sering kali mengorbankan keaslian dan keseimbangan alam. Masyarakat yang dulu hidup dekat dengan alam, kini mulai terasingkan dari tradisi dan cara hidup yang lebih sederhana. Mereka lebih terikat pada rutinitas sehari-hari yang dibentuk oleh kebutuhan modern.

Namun, tanah moyang tetaplah tanah moyang. Ia mungkin berubah secara fisik, tetapi ada sesuatu yang abadi di sana. Ada ketulusan yang tak pernah luntur, ada rindu yang selalu terasa saat langkah kaki jauh dari tempat itu. Sebuah tempat seperti seorang ibu yang tak pernah marah, meski anak-anaknya memilih meninggalkannya, bahkan menyakitinya. Ia tetap menunggu, dengan sabar, tanpa protes, hingga akhirnya kita memutuskan untuk pulang.

(Anak-anak masih melestarikan budaya Babukung – arsip milik Selasten)

Pulang ke tanah moyang bukan hanya soal kembali ke tempat asal. Lebih dari itu, ia adalah perjalanan untuk menemukan diri sendiri. Di tengah aliran sungai yang tenang dan hembusan angin yang membawa aroma rumput, kita seperti diajak mengingat siapa kita dulu sebelum segala ambisi kota mengubah pandangan kita tentang dunia. Di sana, kita diajak berhenti sejenak, merenungi apa yang benar-benar penting dalam hidup.

Tempat itu, yang dulu penuh dengan keceriaan dan kebersamaan, kini mulai menyisakan kesepian, tergerus oleh waktu dan perubahan yang tak terhindarkan. Namun, di balik semua itu, ada harapan agar warisan budaya dan kearifan lokal tidak hilang begitu saja. Orang muda harus berusaha mempertahankan tradisi, yang tua harus mengajarkan mereka cara menanam padi dengan tangan, cara membuat kerajinan dari alam, dan cerita-cerita dari leluhur yang mengajarkan nilai kebersamaan dan penghormatan terhadap alam.

 

 

 

Thata Debora Agnessia\Jurnalis masyarakat adat dari Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah

 

 

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *