Di Tengah Derita, Ada Cahaya: Generasi Baru Pembela Hukum untuk Masyarakat Adat
Potret pada saat pembukaan kegiatan “Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Bagi Kader Pembela Masyarakat Adat” | Dokumentasi Panitia
Menelisik benang merah dari kerangka acuan “Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Bagi Kader Pembela Masyarakat Adat”, bahwasannya di bawah langit biru Indonesia, terpatri gagasan luhur tentang sebuah negara yang menjunjung tinggi keadilan. Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, menggariskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal 1 ayat 3 memberikan janji besar: setiap warga negara dijamin haknya untuk memperoleh perlakuan yang adil di hadapan hukum, tanpa kecuali. Namun, di balik gemerlap kata-kata ini, ada kenyataan yang berbeda, terutama bagi masyarakat adat yang terus bergulat mempertahankan hak-haknya di tengah derasnya arus pembangunan dan kepentingan korporasi.
“10 (sepuluh) tahun terakhir menunjukan bahwa watak hukum, dan kebijakan itu semakin represif, karena itu pelatihan paralegal masyarakat adat menjadi suatu kebutuhan yang penting dalam upaya advokasi pembelaan hukum bagi masyarakat adat yang akan berhadapan dengan masalah-masalah pengakuan masyarakat adat serta juga ketika ada kriminalisasi terhadap masyarakat adat di wilayah adatnya. Selanjutnya, anak muda dan juga perempuan adat menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam konteks keberlanjutan advokasi masyarakat adat. Harapannya, kemaren sekitar kurang lebih ada 20 (dua puluh) orang pesertanya kalau bisa agar bisa terus menerus bersama gerakan masyarakat adat, saya kira itu penting untuk menjadi modal masyarakat adat”, Tegas Muhammad Arman – Perwakilan Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN)
Di Kalimantan Tengah, konflik agraria menjadi cerminan betapa hukum belum sepenuhnya berpihak kepada keadilan. Dengan luas wilayah 15,3 juta hektare, lebih dari 72% tanah di provinsi ini telah dikuasai konsesi perusahaan, 4,8 juta hektare untuk perkebunan sawit, 1,2 juta hektare untuk tambang, dan 5 juta hektare untuk kehutanan. Angka ini bukan sekadar statistik; di baliknya, ada cerita tentang perjuangan masyarakat adat yang dirampas hak atas tanah leluhurnya.
Sebut saja kasus masyarakat adat Laman Kinipan dan Bangkal. Mereka berdiri di garis depan mempertahankan tanah adat mereka dari klaim korporasi. Namun, perjuangan ini bukannya tanpa risiko. Aparat keamanan seringkali dituding berpihak kepada korporasi, sementara masyarakat adat justru menjadi korban kriminalisasi. Dalam beberapa kasus, perjuangan ini bahkan berujung pada kehilangan nyawa.
“Konteks Kalimantan Tengah, kita selama ini menyadari bahwa kekurangan kader-kader pengacara yang pro terhadap masyarakat adat ketika terjadi suatu kasus yang melibatkan masyarakat adat dengan perusahaan misalnya, atau dengan aparat keamanan, maka yang sangat dibutuhkan dalam hal mitigasi adalah pengacara. Melalui hal itulah melatarbelakangi diadakannya pelatihan paralegal, selain untuk meningkatkan kapasitas dari masyarakat adat untuk menanggani persoalan-persoalan hukum yang ada di komunitasnya, serta menjaring kader-kader pembela masyarakat adat dan kader-kader pengacara baru yang nantinya suatu saat bisa memproyeksikan bisa menjadi pengacara. Untuk kegiatan berjalan cukup baik terutama dari segi materi itu diisi oleh orang-orang yang berkapasitas. Harapan, tentunya kepada kawan-kawan kader yang sudah mengikuti pelatihan ini, bisa melakukan tindakan-tindakan advokasi ringan ketika kembali ke komunitas masiing-masing, misalnya ada kasus-kasus yang terjadi di komunitasnya seperti dengan perusahaan dan aparat keamanan, mereka bisa bisa melakukan tindakan advokasi awal. Kemudian bisa saling mendukung dan membantu ketika ada konflik di komunitas lain”, Ferdi Kurnianto – Ketua AMAN KALTENG (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara – Kalimantan Tengah)
Selama periode 2020-2023, tercatat ada 348 konflik agraria di Kalimantan Tengah. Angka ini menunjukkan betapa tingginya ketegangan antara masyarakat adat dan perusahaan yang mengklaim tanah adat. Sebanyak 14 orang menjadi korban kriminalisasi, dan angka ini hanya sebagian kecil dari luasnya penderitaan yang mereka alami.
Ironisnya, di tengah derita tersebut, pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat di Kalimantan Tengah masih jauh dari kata memadai. Dari 14 kabupaten/kota di provinsi ini, hanya empat yang memiliki Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Sebanyak 23 komunitas adat telah diakui melalui keputusan kepala daerah, tetapi luas hutan adat yang resmi diakui hanya mencapai 68.528 hektare, setetes air di tengah luasnya lautan konsesi perusahaan.
Ketidakadilan ini bukan sekadar masalah hukum; ini adalah masalah kemanusiaan. Ketika tanah leluhur direnggut, yang hilang bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga identitas budaya yang telah terbangun selama berabad-abad. Di sinilah peran masyarakat adat menjadi sangat penting, tidak hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai pelaku utama yang memperjuangkan hak-haknya.
“Kegiatan ini sebenarnya sebagai salah satu upaya untuk menjalin kembali dan mengumpulkan ide-ide baru terkait dengan proses-proses yang terjadi di masyarakat adat. Terutama menjaring kader-kdaer yang bersedia untuk bisa melakukan kerja-kerja advokasi baik itu di tingkat tapak maupun di tingkat jaringan karena harus kita akui bahwa hari ini ancaman kriminalisasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat semakin meningkat setiap harinya, hal ini kemudian dijadikan salah satu semangat utama diadakan kegiatan pelatihan paralegal ini. Kita menilai proses kaderisasi itu penting untuk memberikan warna baru dalam proses advokasi, di lain sisi juga meningkatkan kapasitas, bagaimana caranya melawan dengan bagian salah satu alat perang dalam perspektif kita, untuk bisa menyelesaikan kasus-kasus beberapa yang terjadi di tingkat komunitas. Kenapa paralegal?, kita mengingat juga pengacara di Kalimantan Tengah ini sangat sedikit sehingga peran paralegal itu penting untuk bisa berpartisipasi melakukan kerja sama pendampingan. Selain di tingkat tapak masyarakat, juga kita libatkan mahasiswa, karena mahasiswa juga rentan dikriminalisasi juga baik dalam proses melakukan unjuk rasa dan juga pada kerja-kerja pengabdian sosial mereka di tingkat mahasiswa. Harapannya, makin banyak lagi kader-kader masyarakat adat yang bisa berpartisipasi dalam pendampingan kasus dan proses penyelesaian kasus masyarakat adat yang saat ini semakin terpinggirkan di tengah regulasi Indonesia dan juga semakin mempersempit ruang kelola dan ruang wilayah masyarakat adat itu sendiri”, jelas Janang Firman Palanungkai, perwakilan WALHI KALTENG (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Kalimantan Tengah)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyadari betapa pentingnya pemberdayaan masyarakat adat dalam menghadapi permasalahan ini. Salah satu langkah nyata yang dilakukan adalah melalui “Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar bagi kader pembela masyarakat adat”. Kegiatan ini melibatkan 22 (dua puluh dua) komunitas adat di Kalimantan Tengah, bersama mahasiswa dari Palangka Raya, untuk membekali mereka dengan pengetahuan, keterampilan, dan keberanian menghadapi konflik hukum.
Pelatihan ini bukan sekadar program biasa; ini adalah harapan untuk mencetak generasi baru pembela hukum di kalangan masyarakat adat. Dengan didukung oleh PB (Pengurus Besar) AMAN dan berkerja sama dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, kegiatan ini menjadi titik awal perjalanan panjang menuju keadilan yang sejati.
Potret para peserta dan pemateri yang sangat antusias pada kegiatan “Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Bagi Kader Pembela Masyarakat Adat” | Dokumentasi Panitia
“ Terkait paralegal merupakan salah satu goal juga. Melihat data statistik, jarak atau gap dari dari penyediaan bantuan hukum untuk masyarakat adat ketika terjadi konflik itu sangat tinggi. Kita juga melihat gap atau jarak berdasarkan data-data yang dikumpulkan bahwa di Indonesia itu begitu banyak masyarakat miskinnya dan masyarakat yang betul-betul membutuhkan bantuan hukum. Dari permasalahan itu, telah lama juga dicarikan solusinya, salah satunya ialah yang bisa menjadi solusi adalah paralegal. Kita juga bisa melihat kondisi saat ini, advokat yang memberikan bantuan hukum secara gratis bisa dihitung jari, sehingga paralegal seperti inilah yang bisa menjawab tantangan tersebut”, terang Abdul Malik Akdom, perwakilan dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
Perjuangan masyarakat adat tidak akan selesai dalam semalam. Diperlukan kerjasama lintas pihak masyarakat sipil, akademisi, organisasi non-pemerintah, hingga pemerintah sendiri untuk menciptakan sistem hukum yang benar-benar adil dan berpihak kepada mereka yang terpinggirkan.
Namun, di balik segala tantangan ini, ada secercah harapan. Semakin banyak suara yang mulai memperhatikan isu masyarakat adat. Generasi muda dari komunitas adat dan luar komunitas mulai terlibat aktif dalam upaya ini. Mereka bukan hanya sekadar saksi, tetapi juga aktor perubahan.
Di tengah segala kesulitan, masyarakat adat Kalimantan Tengah terus berdiri teguh. Mereka tahu bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk anak cucu yang akan datang. Dengan langkah kecil namun pasti, mereka terus menapaki jalan panjang menuju keadilan.
Sejarah akan mencatat perjuangan ini bukan hanya sebagai narasi penderitaan, tetapi juga sebagai kisah tentang keberanian, kebersamaan, dan harapan yang tidak pernah padam. Dalam gema suaranya, hukum dan keadilan, seperti yang diimpikan dalam UUD 1945, akan menjadi nyata, tidak hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Bagi Kader Pembela Masyarakat Adat diselenggarakan di Rumah Betang Anjungan Kotim, Kota Palangka Raya, pada rabu-jumat, (23-25/10/2024). Di tengah riuh pembangunan yang kadang mengabaikan jejak-jejak leluhur, sebuah langkah kecil tapi berarti digelar: “Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar untuk Kader Pembela Masyarakat Adat”. Kegiatan ini bukan sekadar transfer ilmu, melainkan sebuah panggilan bagi para pewaris tanah adat untuk memahami, melindungi, dan memperjuangkan hak-hak mereka. Dalam setiap sesi, peserta diajak menyelami pengetahuan mendalam, memperluas wawasan, dan mengasah keterampilan sebagai pendamping hukum yang tangguh. Pelatihan ini tidak hanya mempersenjatai kader dengan alat-alat pembelaan, tetapi juga menyalakan api keberanian di dada mereka. Dengan pemahaman hukum yang lebih kokoh, mereka diharapkan mampu menjadi pilar perlindungan komunitasnya. Lebih dari sekadar kelas, kegiatan ini adalah ruang penyadaran: bahwa perjuangan melawan ketidakadilan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat. Dengan semangat gotong royong yang menjadi nafas tradisi, para kader diajak merangkai masa depan yang lebih adil. Mereka bukan hanya sekadar pendamping, tetapi cahaya bagi komunitas yang kerap dilupakan. Pelatihan ini, bagai benih yang ditanam, membawa harapan akan tumbuhnya pohon-pohon keadilan yang kokoh di bumi adat yang suci.
“Kegiatan Pelatihan ini bertujuan tentunya untuk meningkatkan kapasitas kader masyarakat adat dan juga terkait pembelaan di komunitas masing-masing dalam rangka mempertahankan wilayah adat. Saya kira ini salah satu gagasan yang baik dan juga merupakan mandat dari organisasi ini untuk memberikan pelayan ke komunitas. Saya kira untuk catatan ke depan kiranya ada representasi gender menjadi perhatian juga untuk seluk beluk pemuda bergerak dengan tokoh-tokoh masyarakat, karena gerakan masyarakat adat ini harus dilakukan secara serentak dan juga kegiatan serupa agar bisa diperbanyak untuk bisa menjangkau, karena sangat baik kegiatan-kegiatan paralegal ini dilakukan di komunitas, melibatkan komunitas masyarakat adat”, ujar Samsul Alam, PPMAN – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara
Pion-pion peserta yang diundang ialah dari Pengurus Daerah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) , BPAN (Barisan Pemuda Adat Nusantara) Kotawaringin Barat, Mahasiswa Hukum, Mahasiswa Fakultas lainnya, Komunitas Bangkal, Komunitas Kinipan, Komunitas Muara Mea, Komunitas Penyang , Komunitas Tempayung, Komunitas Birumaju, Komunitas Kalumpang, Komunitas Kubung, Komunitas Kinjil.
Pada saat pelatihan paralegal diisi materi-materi menarik seperti materi wajib (HAM dan Masyarakat Adat, Ketidakadilan Gender Dalam Masyarakat Patriarki, Pengenalan Free, Prior and Informed Consent (FPIC), Pengantar Paralegal dan Bantuan Hukum Struktural, Praktek Peradilan di Indonesia dan Lembaga-Lembaga Yang Relevan, Strategi Advokasi, Pemantauan dan pendokumentasian kasus (Profil/Posisi Kasus), Kampanye kasus. Kemudian materi tambahan (Siasat Menghadapi Polisi, Lobi dan Negosiasi).
Potret pada saat hari terakhir kegiatan “Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Bagi Kader Pembela Masyarakat Adat” | Dokumentasi Panitia
Terakhir, kegiatan ini disambut baik oleh perwakilan peserta yang menerangkan dengan lantang dan gagah berani terkait tanggapannya untuk kegiatan pelatihan paralegal tingkat dasar bagi kader pembela masyarakat adat.
“Untuk kegiatannya seru. Saya juga banyak belajar dari yang belum mengerti apa itu advokasi, apa itu paralegal, sekarang sudah mulai mengerti karena ini pertama kali saya mengikuti kegiatan begini. Selain itu hal yang menarik dari kegiatan ini ialah saya banyak bertemu teman-teman baru. Semoga ke depan ada lagi pelatihan paralegal seperti ini dan juga untuk seluruh peserta tetap semangat”, tandas Vanesa, perwakilan dari peserta (Kotawaringin Barat)
“Saya mendapatkan ilmu baru, khususnya paralegal. Sebenarnya sudah tau secara mendasar, namun di kegiatan ini secara mendalam lagi. Juga dihadirkan pemateri-pemateri yang sangat luar biasa. Saya juga berterima kasih untuk yang mengadakan terkhusunya dari AMAN yang menghubungi saya”, Satria Bintang Erja Hamadani, perwakilan dari peserta (Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Palangka Raya)
Potret malam ramah tamah di kampung lauk setelah “Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Bagi Kader Pembela Masyarakat Adat” | Dokumentasi Panitia
DuaEnam/AMANKALTENG
***