BeritaBerita LainnyaBerita Masyarakat AdatPernyataan SikapPers Rilis

Sikap dan Penolakan Hakim Adat Se-Nusantara Terkait Pengaturan “Hukum Yang Hidup” dalam UU No. 1/2023 Tentang KUHP

Sikap dan Penolakan Hakim Adat Se-Nusantara
Terkait Pengaturan “Hukum Yang Hidup”
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Dalam berbagai pernyataan publik dan diskusi, tim perumus KUHP, Pemerintah dan DPR mendalilkan bahwa maksud pengaturan ini sebagai misi dekolonialisasi dan semangat melawan asas legalitas warisan kolonial belanda. Dari pengaturan mengenai ‘hukum yang hidup’ ini muncul istilah ‘asas legalitas materiil’, sebagai lawan dari legalitas formil yang dianut KUHP kolonial. Asas ini mendalilkan seseorang dapat dijatuhkan pidana meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur ancaman pidana terhadap perbuatan tersebut, mendasarkan pada hukum yang hidup di masyarakat.

Meskipun dalam berbagai pernyataan publik dan diskusi, maksud dan tujuan dari tim perumus KUHP untuk memasukkan ‘hukum yang hidup’ dalam KUHP adalah sebagai apresiasi terhadap hukum adat, namun pengaturan mengenai ‘hukum yang hidup’ dalam KUHP sejauh ini berpotensi melanggar hak-hak Masyarakat Adat.

Dalam Draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tentang Tata Cara Dan Kriteria Penetapan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat diatur antara lain sebagai berikut :

1. Kriteria Hukum yang Hidup dalam Masyarakat berdasarkan kepada:
Adanya Masyarakat Hukum Adat yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; adanya lembaga adat; adanya peradilan adat yang menganut prinsip komplementer; adanya jenis perkara yang berada di bawah kewenangan Peradilan Adat yang disepakati bersama oleh Masyarakat Hukum Adat; adanya sanksi adat.

Pemberian sanksi adat diberikan terhadap pelanggaran Hukum Adat yang dijatuhkan sepanjang sanksi adat tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Tata Cara Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat :

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat melalui tahapan, inventarisasi; identifikasi; verifikasi dan validasi; dan penetapan.

Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Panitia Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Panitia Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur: Sekretaris Daerah kabupaten/kota sebagai ketua; Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris; Kepala Bagian Hukum sekretariat kabupaten/kota sebagai anggota; tokoh masyarakat/tokoh adat sebagai anggota.

Proses Inventarisasi dan Pencatatan yang dilakukan secara elektronik atau nonelektronik terhadap Hukum yang Hidup dalam Masyarakat yang belum terdata.

Proses Identifikasi dilakukan melalui kajian yang menyeluruh terhadap kriteria sebagaimana dimaksud. Lalu berdasarkan hasil identifikasi, Panitia Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat melakukan Verifikasi dan validasi. Verifikasi dan validasi dilakukan oleh dengan mempertimbangkan masukan dari masyarakat.

Kemudian hasil verifikasi dan validasi disampaikan kepada Bupati/Walikota dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak Panitia Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat dibentuk. Hasil verifikasi dan validasi dapat berupa rekomendasi penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat. Berdasarkan rekomendasi, Bupati/ Walikota membentuk Peraturan Daerah tentang Hukum yang Hidup dalam Masyarakat. Tata cara pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Proses penyusunan Draf Rancangan Peraturan Pemerintah (Draf RPP) ini tidak melibatkan Masyarakat Adat sebagai pemangku hukum adat dan entitas yang menjalankan sistem Peradilan Adat. Jika melihat lebih dalam Draf RPP ini, dan merujuk pada Peraturan terkait Pedoman Pengakuan Masyarakat Adat (Permendagi Nomor 52 Tahun 2014), akan sangat jelas dominasi pemerintah dalam menentukan kriteria dan tata cara penetapan hukum yang hidup/hukum pidana adat. Hal ini akan mendorong lebih jauh keterlibatan kelompok-kelompok dominan di masyarakat dalam membentuk Peraturan Daerah tentang Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat/masyarakat adat.

Kegiatan Konsolidasi Hakim Adat Se-Nusantara di Jakarta pada tanggal 8-9 Oktober 2024

Untuk itu Hakim Adat Se-Nusantara menolak pengaturan Hukum Yang Hidup dalam KUHP dengan pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, penggunaan istilah ‘hukum yang hidup’ dan bukan ‘hukum adat’ dalam batang tubuh KUHP. Istilah yang digunakan dalam Pasal 2 dan Pasal 601 masih ‘hukum yang hidup’, bukan secara eksplisit menyebutkan ‘hukum adat’. Sedangkan secara doktrinal kedua peristilahan ini berbeda. Dengan menyamakan kedua istilah ini, konsekuensinya, di lapangan bisa jadi istilah ‘hukum yang hidup’ dimanfaatkan oleh elit politik, sosial, dan budaya untuk melanggengkan kekuasaannya. Apalagi tim perumus KUHP mendefinisikan ‘hukum yang hidup’ baru memiliki kekuatan sebagai dasar pemidanaan ketika diatur dalam Peraturan Daerah.

Kedua, pengambil alihan kewenangan Masyarakat Adat untuk menjalankan hukum pidana adatnya oleh negara. Pasal mengenai ‘hukum yang hidup’ masuk dalam Buku 1 dan Buku 2 KUHP. Artinya, pelaksana dari ketentuan hukum pidana ini adalah polisi, jaksa, dan hakim, bukan pemangku adat. Proses penjatuhan pidana adat kepada tersangka diambil alih oleh proses peradilan, padahal seharusnya penyelesaian sengketa adat dijalankan dengan sidang adat, yang mengandung nilai kesakralan di dalam komunitas. Institusi penegak hukum (negara) tidak mungkin menggunakan orientasi dan menempuh prosesi yang sama yang diterapkan dalam peradilan adat. Ini berarti dua hal. Pertama, pengambilalihan kewenangan ketua adat oleh hakim. Ini melanggar hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri, salah satunya dengan menjalankan sendiri hukum adat di komunitasnya. Kedua, pengambilalihan proses sidang adat yang sakral ke dalam proses peradilan negara.

Ketiga, dengan dibekukan dalam Perda, hukum adat kehilangan karakter dinamisnya. Pertama, hukum adat di berbagai komunitas berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Karena tidak menggunakan tradisi tertulis, perkembangan hukum adat di berbagai komunitas jauh lebih dinamis daripada hukum negara. Dengan dibekukan dalam aturan tertulis, hukum adat tidak lagi menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, melainkan menjadi hukum tertulis yang terpisah. Bisa jadi ada gap antara hukum adat tertulis dengan hukum adat yang benar-benar hidup seiring perkembangan masyarakat.

Selain itu, setiap sengketa dalam masyarakat adat diselesaikan berorientasi perdamaian dan pengembalian keseimbangan di masyarakat, sehingga penjatuhan sanksi adat tidak bisa dilogikakan secara deduktif formil dengan Peraturan Daerah antara perbuatan dan ancaman sanksi pidananya. Di berbagai komunitas, sanksi adat dijatuhkan melalui musyawarah yang melibatkan pelaku, korban, dan seluruh komunitas.

Keempat, bahaya pengaturan dalam Perda mengingat penyusunan Peraturan Daerah sangat elitis, tidak partisipatif, dan mahal. Pertama, tidak ada jaminan masyarakat adat betul-betul dilibatkan dalam perumusan Peraturan Daerah, sehingga tidak ada jaminan hukum adat yang diatur dalam Peraturan Daerah mengakomodasi hukum adat yang betul-betul hidup di masyarakat adat. Bisa jadi justru ‘hukum adat’ sebagai istilah dikaburkan untuk mengakomodasi atau menghidupkan norma-norma lain tergantung kepentingan elit yang dekat dengan perumus Peraturan Daerah, misalnya hukum raja. Kedua, hukum adat merupakan otoritas dari setiap komunitas, bukan daerah dan bukan suku. Bisa jadi pelaksanaan hukum adat di setiap komunitas berbeda walaupun satu suku. Sedangkan setidaknya ada 2.449 komunitas adat yang teridentifikasi sampai saat ini (KMAN VI tahun 2022). Mendokumentasikan hukum adat di 2.449 tidak mudah dan sangat rawan misrepresentasi oleh elit daerah.

Kelima, rekonstruksi parsial dari hukum adat. Hukum adat hanya digunakan sebagai dasar penjatuhan pidana, bukan dasar untuk membebaskan pelaku dari pidana atau meringankan sanksi pidana. Pengaturan di KUHP tidak bisa menyelamatkan masyarakat adat dari kriminalisasi ketika dirampas tanahnya oleh negara atau perusahaan padahal telah menempati tanah tersebut secara turun temurun berdasarkan hukum adat. Juga tidak bisa membebaskan atau meringankan pidana pelaku tindak pidana yang telah menempuh sidang adat dan membayar kewajiban adat berdasarkan hukum adatnya.

Rekomendasi :

  1. Penghormatan hukum adat harusnya bukan diatur dalam KUHP, melainkan dalam KUHAP. Harusnya penghormatan hukum adat oleh negara bukan dengan mengatur substansi normanya yang dinamis ke dalam hukum tertulis, melainkan mewajibkan kepada hakim untuk menghormati keberadaan putusan adat dan hukum adat dalam mempertimbangkan perkara yang ditangani.
  2. Menempatkan hukum adat tidak parsial, bukan hanya sebagai dasar pemidanaan melainkan alasan meringankan, meniadakan hukuman, atau menghentikan proses peradilan pidana.
  3. Menghormati hak masyarakat adat untuk menjalankan hukum adatnya, dan menyelesaikan sengketa di komunitasnya berdasarkan hukum adat yang berlaku.
  4. Mendesak Pemerintah untuk segara Mengesahkan Undang-undang Masyarakat Adat.

Jakarta, 8-9 Oktober 2024

HAKIM ADAT Se-NUSANTARA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *