Pers Rilis

Dakwaan JPU Cacat Hukum: Kades Syahyuni Tegas Menolak Tawaran Restorative Justice

PRESS RELEASE

Dakwaan JPU Cacat Hukum: Kades Syahyuni Tegas Menolak Tawaran Restorative Justice

 

Pada hari ini, Rabu (5/2/2025) di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, telah digelar sidang dengan agenda pembacaan eksepsi (nota keberatan) yang diajukan oleh tim kuasa hukum terdakwa Kepala Desa Tempayung, Syachyunie (47) dalam nomor perkara 36/Pid.Sus/2025/PN Pbu. Sidang ini dipimpin oleh Hakim Ketua Dilli Timora Andi Gunawan, S.H., M.H didampingi oleh hakim anggota, Firmansyah, S.H., M.H dan Erwin Tri Surya Anandar, S.H., M.H. Sidang juga dihadiri oleh jaksa penuntut umum, tim kuasa hukum terdakwa, keluarga terdakwa, beserta perwakilan mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya. Selain itu, Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPC APDESI) Kotawaringin Lama juga turut menghadiri persidangan dalam rangka solidaritas kepada sesama kepala desa.

Tim Advokasi Keadilan Untuk Tempayung, selaku kuasa hukum terdakwa hari ini membacakan nota keberatan yang berjudul “HENTIKAN BISNIS KRIMINALISASI KADES SYACHYUNIE,” sebagai bentuk bantahan terhadap dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Dalam eksepsi ini, terdapat beberapa poin utama yang menjadi dasar keberatan, yakni:

  1. Dakwaan yang didakwakan kepada Terdakwa bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi ruang lingkup perdata. Mengingat perkara ini berakar dari konflik agraria antara masyarakat Desa Tempayung dengan PT. Sungai Rangit terkait pemenuhan kewajiban kebun plasma sebesar 20% dari total Hak Guna Usaha (HGU). Tindakan terdakwa sebagai Kepala Desa merupakan bagian dari advokasi untuk memperjuangkan hak masyarakat, yang seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana.
  2. Proses Penangkapan, Penyidikan, dan Penahanan serta Pengajuan ke Depan Persidangan yang Cacat Hukum. Penangkapan dilakukan tanpa memenuhi prosedur yang sah sesuai KUHAP, termasuk tidak adanya pemanggilan secara tertulis sebelumnya, serta penahanan dilakukan tanpa pemberitahuan kepada keluarga terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3) KUHAP. Selain itu, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak diserahkan kepada terdakwa atau kuasa hukumnya, yang melanggar hak terdakwa untuk melakukan pembelaan secara efektif.
  3. Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dianggap kabur (obscuur libel) karena tidak memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Dakwaan tidak menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan hak-hak terdakwa dalam membela diri.
  4. Dakwaan Prematur karena Penuntut Umum Mendakwa Perkara yang Terkategori Prejudicieel Geschil. Sengketa yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu di ranah administrasi atau perdata sebelum masuk ke ranah pidana. Sengketa agraria antara masyarakat Desa Tempayung dan PT. Sungai Rangit masih dalam proses mediasi di tingkat pemerintah daerah, sehingga proses pidana terhadap terdakwa dianggap tidak relevan.

Berdasarkan seluruh uraian tersebut, Tim Advokasi Keadilan Untuk Tempayung, selaku kuasa hukum terdakwa memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima atau batal demi hukum.

Selain menyampaikan eksepsi tersebut, dalam sidang ini terdakwa juga ditawarkan mekanisme Restorative Justice (RJ) oleh Majelis Hakim, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2024. Prosedur ini harus dinyatakan oleh Majelis Hakim dalam proses persidangan yang ancaman pidana nya dibawah 5 tahun. Namun terdakwa beserta Penasihat Hukum (PH) secara resmi menyatakan penolakannya terhadap tawaran penyelesaian melalui mekanisme restorative justice. Penolakan ini bukan tanpa alasan, melainkan didasarkan pada pertimbangan prinsip hukum dan keadilan yang lebih luas.

Restorative Justice mensyaratkan adanya pengakuan kesalahan dari pelaku sebagai dasar. Dalam kasus ini, Syachyunie tidak bersalah karena tindakannya semata-mata untuk melindungi perjuangan hak masyarakat Desa Tempayung. Memaksakan pengakuan kesalahan berarti menghapuskan fakta bahwa terdakwa bertindak untuk kepentingan publik, dan bukan pelanggaran hukum. Hal ini berbahaya karena dapat medelegitimasi praktik kriminalisasi perusahaan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro terhadap para pejuang agraria, aktivis maupun pemimpin yang memperjuangkan hak-hak masyarakat.

Restorative Justice tidak relevan untuk kasus yang mengandung unsur kepentingan publik.
Kasus ini tidak hanya menyangkut hubungan antara terdakwa dan perusahaan, tetapi juga menyangkut kepentingan publik, yaitu hak masyarakat Desa Tempayung atas tanah mereka. Proses restorative justice yang bersifat individual tidak mampu mewakili atau menyelesaikan persoalan kepentingan publik yang lebih luas.

Tim Advokasi Keadilan untuk Tempayung akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Selain itu koalisi juga berharap agar majelis hakim dapat mempertimbangkan eksepsi yang telah diajukan secara objektif dan profesional.

Adapun sidang berikutnya dijadwalkan pada Jumat, (7/2/2025) dengan agenda tanggapan Jaksa Penuntut Umum atas eksepsi terdakwa atau replik,.Tim Advokasi Keadilan untuk Tempayung juga mengajak seluruh pihak untuk tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan tidak terpengaruh oleh opini publik yang belum tentu berdasar pada fakta hukum dan keadilan materiil yang ada.

Tim Advokasi Keadilan untuk Tempayung terdiri dari AMAN Kotawaringin Barat; PPMAN, BPAN Kotawaringin Barat, Sawit Watch, Perkumpulan HuMA, Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) Indonesia, Solidaritas Mahasiswa Kotawaringin Barat, WALHI Kalimantan Tengah, Save Our Borneo, Progress Kalimantan Tengah, PW AMAN Kalimantan Tengah, PB AMAN.

 

Narahubung:

Mardani ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara )  AMAN Kotawaringin Barat

Sekar Banjaran Aji (Koordinator PILNet Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *